"Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan." { Wahyu 4:11}

Monday, January 17, 2011

MESSIANISME DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT SEJARAH


Misnal Munir
Abstract:  The concept of messianism which was derived from
religion was also found in  historical thought of philosophers like
Hegel, Karl Marx, Auguste Comte, Berdyaev. Messianism was
symbolised, in the philosophical context had been understood as the
tops of historical development..
Kata Kunci: messianisme, filsafat sejarah, agama.
Secara umum messianisme diartikan dengan akan datangnya seorang juru
selamat yang akan membebaskan manusia dari penderitaan yang sekarang sedang
dialaminya. Ide tentang messianisme berasal dari agama. Ada tiga agama besar
yang membicarakan secara eksplisit tentang messianisme dalam ajarannya.
Agama-agama itu ialah Yahudi, Nasrani, (Kristen), dan Islam. Untuk memahami
pengertian messianisme dalam filsafat sejarah maka perlulah ditelusuri terlebih
dahulu pemikiran messianisme dalam pandangan agama-agama tersebut.
Messianisme pada awalnya adalah suatu kepercayaan pokok dalam agama
yang ditandai dengan akan datangnya seorang penebus yang akan datang
mengakhiri tatanan masa sekarang, baik bagi kelompok besar atau kecil, dan
suatu lembaga dengan tatanan baru yang adil dan bahagia. Messianisme adalah
suatu gerakan sosial yang dikendalikan, dan sebagai suatu kepercayaan,
messianisme dapat ditemukan dalam agama zoroaster Persia, Yahudi, Kristen dan
Islam. Messianisme sebagai doktrin dalam Yahudi berkaitan erat dengan konsep
Messiah. Messiah merupakan doktrin tentang kedatangan seorang penebus yang
disambut sebagai pahlawan dan pembangun dengan karakter yang khas,
pembangunan itu tidak hanya mempengaruhi pemikiran agama di Barat tetapi
juga memberikan inspirasi dalam gerakan sekular modern (Hons Kohn, 1959:
356).
Keyakinan, harapan dan kebangkitan dunia ini telah memperoleh ungkapan
klasiknya dalam visi nabi messianik. Dalam literatur profetik versi messianik
bersandar pada tekanan antara “apa yang terjadi” dan “apa yang belum ada”.
Pada post-profetik, makna ide messianik mengalami perubahan, yang muncul
pertama dalam kitab Daniel, sekitar 164 SM. Di dalam literatur pseudo epigrafik
yang tidak terhimpun dalam kumpulan perjanjian lama (Fromm, 1999: 17).
Literatur ini mempunyai ide “vertikal” tentang penyelamatan sebagai lawan
terhadap ide “horisontal” dari para nabi. Curahan perhatiaannya pada tranformasi
individu atau secara luas pada tujuan katastropis sejarah,yang berlangsung pada
hari kiamat. Versi apokalipstik ini bukan merupakan alternatif-alternatif
melainkan merupakan ramalan, bukan kebebasan melainkan ketentuan.
                                              
Misnal Munir adalah pengajar Sejarah Filsafat Barat di Fakultas Filsafat UGM Misnal Munir, Messianisme dalam Perspektif
43
Berbagai pemikiran tentang kemungkinan-kemungkinan dan corak-corak
yang mungkin akan timbul mengenai masyarakat masa depan itu tidak hanya
terdapat dalam pemikiran agama melainkan juga ditemukan pada pemikiran
filsafat. Erich Fromm (1999: 18) mengatakan bahwa di luar Gereja, sosialisme
Marxis murni merupakan ungkapan yang paling signifikan dari sisi messianik
dalam bahasa sekuler. Senada dengan pendapat Fromm, Hans Kohn (1959: 356)
menegaskan bahwa konsep revolusi proletarian adalah visi yang bersifat
messianistik, “The concept of proletarian also owes much of its driving force to
messianism”.
MESSIANISME DALAM PERSPEKTIF AGAMA
Messianisme dalam Agama Yahudi
Pemikiran tentang messianisme berawal dari kisah ribuan tahun yang lalu,
yaitu ketika terjadinya penindasan oleh Firaun atau (Ramses) raja Mesir yang
mengaku dirinya sebagai tuhan terhadap bangsa Yahudi. Dalam ketertindasan itu
bangsa Yahudi mengharapkan akan kehadiran seorang juru selamat yang akan
dapat mengeluarkan mereka dari bumi Mesir. Harapan dan keinginan bangsa
Yahudi itu terwujud tatkala Tuhan mengutus Musa sebagai nabi dari kalangan
bangsa Yahudi. Kehadiran Musa ditengah bangsa Yahudi tidak hanya membawa
risalah kenabian, sekaligus juga sebagai juru selamat yang membebaskan bangsa
Yahudi dari penindasan dan perbudakan Firaun dengan mengeluarkan bangsa
Yahudi keluar dari Mesir melintasi laut merah menuju Palestina.
Kitab Talmud menyebut Musa sebagai “juru selamat Israel” (savior of
Israel). Musa tidak hanya pemandu dan pemimpin dari bangsa Israel, ia adalah
juga seorang lawgiver dan nabi (Klausner, 1979: 28). Lebih lanjut ia mengatakan
bahwa.
The personality of the messiah become more and more elevated in the time
of the prophets and the time of the Tannaim, finally reaching tremendeus
power and eminence. The Messiah had the attributes of a king, inherited
from Moses, the judges, and David; to these were added also the attributs of
a prophet (Klausner, 1979: 36).
Musa adalah pembawa risalah kenabian yang diutus Tuhan untuk
menyadarkan Firaun yang telah melampaui batas. Firaun tidak hanya berlaku
kejam terhadap bangsa Yahudi, lebih dari itu juga “memproklamirkan” diri
sebagai Tuhan yang dapat menentukan hidup dan matinya seseorang. Kekejaman
Firaun terutama sangat dirasakan oleh bangsa Israel (Bani Israil) yang
diperlakukan sebagai bangsa kelas budak. Musa diutus juga menyelamatkan
bangsa Israel dari kekejaman Firaun.
Kisah tentang kesewenang-wenangan dan kekejaman Firaun ini dijelaskan
dalam Al Qur’an sebagaimana dikutip oleh Mazheruddin Siddiqi dalam bukunya
Konsep  Qur’an tentang Sejarah sebagai berikut.
Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan
menjadikan pendudukannya berpecah belah, dengan menindas segolongan
dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 1
44
anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang
yang berbuat kerusakan (Siddiqi, 1986: 97).
Bangsa Israel (Bani Israel) berdasarkan kutipan ayat Al Qur’an di atas
adalah bangsa yang ditindas oleh Firaun. Sebagai penguasa Mesir pada waktu itu,
Firaun tidak hanya membuat orang-orang Israel hina, tetapi juga mengajarkan
orang-orang Mesir untuk tidak menghargai mereka.
Selain kisah kekejaman Firaun dan kedatangan Nabi Musa sebagai juru
selamat seperti tersebut di atas,  bangsa Israel masih menunggu-nunggu
kedatangan nabi Besar yang dijanjikan oleh Nabi-Nabi Perjanjian Lama. Orang
Israel (Yahudi) dalam buku-buku mereka dahulu kala sering menyebut Nabi
Besar itu dengan julukan  “Manahem” yang bererati “Penghibur” (HasbullahBakry, 1961: 134). Mereka memakai julukan Manahem yang berrarti Penghibur
untuk Nabi Besar itu, sebagai  Manahem itulah yang akan menggantikan
kedudukan Nabi Musa dengan membawa ajaran dan pemerintahan baru dan akan
membebaskan bangsa Israel dari penindasan.
Messianisme dalam Agama Kristen (Nasrani)
Pada masyarakat Nasrani pemikiran juru selamat dipersonifikasikan dengan
kehadiran Isa Almasih (Yesus Kristus).
“Jesus was undertood as savoi and so could be called messiah, but the
salvation he brings no longer seems to include a central element of
messianism: that salvation is a historical salvation of an oppressd
people, both outwardly and inwardly. Christ is not presented as the
Messiah who, particularly since the Exile, is assosiated with the hope
of poor, as the just king who will finally impart justice, defend the
weak and bring about reconciliation and solidarity.” (Sobrino, 1993:
116).
Bagi penganut agama Kristen, Yesus tidak hanya diakui sebagai nabi
pembawa wahyu, tetapi ia juga disebut sebagai juru selamat.
Para penganut agama Kristen, selain meyakini Yesus sebagai juru selamat
yang telah mengorbankan dirinya untuk disalib, juga mempercayai tentang akan
datangnya seorang juru selamat lain setelah Yesus. Keterangan mengenai ini
tersebut dalam Injil Yahya. Yahya adalah satu-satunya pengarang Injil yang
menyebut riwayat percakapan Yesus terakhir dengan para rasul (sahabat), yaitu
pada akhir santapan Yesus dan sebelum ia ditangkap oleh tentara Romawi
(Bucaille, 1978: 154). Jiwa dari riwayat percakapan Yesus tersebut mengenai
tentang hari depan manusia yang akan dipimpin oleh seorang pemimpin yang
definitif yang harus diikuti manusia setelah Yesus tidak ada lagi. Teks Injil
Yahya menyebut dengan jelas nama Parakletos (Paraclet) sebagai pemimpin
masa depan itu.
Messianisme dalam Agama Islam
Pada masyarakat Islam, kedatangan Imam Mahdi diakhir zaman merupakan
ide messianistik yang sangat diyakini. Abdulaziz Abdulhussein Sachedina dalam
bukunya  Islamic Messianism menuliskan messianisme dalam Islam sebagai
berikut: Misnal Munir, Messianisme dalam Perspektif
45
The term “messianisme” in the Islamic context is frequently used to
translate the important cencept of an eschatological figure, the Mahdi, who
as foreordained leader “will rise” to launch a great social transformation in
order to restore and adjust all things under divine guidance. The Islamic
messiah, thus, embodies the aspiratons of his followers in the restoration of
the purity of the Faith which will bring true and uncorrupted guidance to all
mankind, creating a just social order and a world free from oppression in
which the Islamic revelation will be the norm for all nations” (Sachedina,
1981: 2).
Konsep messianisme dalam agama Islam berbeda dengan messianisme
dalam agama-agama sebelumnya. Jika dalam agama Yahudi maupun Nasrani
para nabinya selain sebagai penerima wahyu dari Tuhan sekaligus juga
dipersonifikasikan sebagai juru selamat. Dalam agama islam sang juru selamat itu
bukan Nabi Muhammad SAW, tetapi seorang figure yang disebut dengan Imam
Mahdi. Imam Mahdi akan datang sebagaui penyelamat manusia setelah
disesatkan oleh Dajjal.
Konsep Mahdiisme, keimanan akan datangnya Al-mahdi yang dijanjikan,
dalam Islam, didasarkan pada pandangan tentang masa depan Islam, umat
manusia dan dunia (Muthahhari, 1992: 61). Imam Mahdi sering digambarkan
sebagai sosok penyelamat manusia dari kebobrokan moral diakhir jaman
menjelang kiamat. Keadaan manusia diakhir jaman itu digambarkan sebagai
keadaan yang penuh dengan kemaksiatan, kerusakan akhlak terjadi dimana-mana,
manusia tidak lagi menyembah Allah. Dengan demikian Imam Mahdi tidak
datang untuk menyelamatkan manusia penindasan suatu kaum atau rejim, tetapi
datang untuk mengembalikan manusia pada kemurnian akidah dan tauhid.
PANDANGAN-PANDANGAN TENTANG FILSAFAT SEJARAH
Pengertian Filsafat Sejarah
Kesadaran manusia tentang sejarah telah dimulai sejak adanya filosof yang
berpikir mengenai sejarah, perkembangan bangsa, dan pembangunan. Beberapa
ahli filsafat Yunani Kuno telah melakah maju dengan berpendapat bahwa arus
sejarah yang simpang siur itu sebetulnya berdasar sebuah rencana yang masuk
akal (Meullen, 1987: 24). Marcus Tullius Cicero menyebut Herodotus sudah
berusaha menjaring sumber-sumber yang dapat dipercaya dan berusaha dengan
jujur untuk mencapai kebenaran (Pospoprodjo, 1987: 10). Namun demikian
istilah filsafat sejarah baru untuk pertama kali dikemukakan oleh Voltaire (1694-
1778) (Lowith, 1970: 1).
Ungkapan filsafat sejarah secara tradisional berarti usaha memberikan
keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah (Gardiner,
1985: 123). Filsafat sejarah tidak hanya berusaha untuk memahami masa lampau
dalam perspektif masa kini, akan tetapi juga berusaha untuk membuat suatu
proyeksi ke masa depan. Dengan memahami ketiga dimensi waktu itu, seorang
filosof filsafat sejarah berusaha untuk memahami perkembangan sejarah
kemanusiaan secara untuh.
Perbincangan mengenai messianisme tidak dapat dipisahkan dari filsafat Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 1
46
sejarah. Filsafat sejarah yang dalam istilah lain disebut dengan historisitas.
Historisitas dalam filsafat Barat menjadi agenda penting pemikiran modern dan
dianggap sebagai langkah evaluatif untuk menemukan cakrawala yang membuka
pemahaman tentang masa depan. Historisitas berkaitan erat dengan kreatifitas
manusia dan iventifitas, serta sudah merupakan ciri khas eksistensi. Historisitas
tidak hanya merupakan ciri khusus jaman modern, akan tetapi juga sudah dialami
oleh jaman sebelumnya. Namun demikian historisitas tidak selalu dialami dengan
cara yang sama dalam setiap periode sejarah. Pada jaman modern manusia lebih
insaf akan historisitas dibandingkan dengan jaman sebelumnya (Bertens, 1987:
186). Manusia jaman modern dalam memahami historisitasnya lebih dinamik dan
kreatif. Ia tidak hanya berusaha untuk meramalkan tentang corak dan bentuk
masa depan ideal yang diinginkannya, lebih dari ia berusaha untuk mewujudkan
cita-citanya itu.
Russell (1989: 1) mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam lingkungan
masyarakat yang tidak mereka ciptakan. Struktur sosial, ekonomi, dan politik
merupakan faktor penentu, faktor itu dapat memperlancar atau menghambat
perkembangan biografis mereka. Maka untuk memahami sejarah individu, perlu
dimengerti matriks institusional atau struktur yang membentuk latar belakang
atau pilihan-pilihan hidupnya. Agar para individu dapat memahami sejarah
mereka, maka hendaknya mereka berpegang teguh pada struktur yang jelas, yaitu
tentang struktur mana yang mendukung atau memajukan kebebasan semua
tindakan mereka.
Patrick Gardiner (1985: 123-124) mengatakan bahwa ungkapan filsafat
sejarah menunjukkan kepada dua jenis penyelidikan yang sangat berbeda. Secara
tradisional ungkapan tersebut telah digunakan untuk menunjuk kepada usaha
memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses sejarah.
Filsafat sejarah dalam arti ini disebut “filsafat sejarah formal atau spekulatif”
yang secara khas berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “apa arti
(makna, tujuan) sejarah?” atau “hukum-hukum pokok mana yang mengatur
perkembangan dan perubahan dalam sejarah?”. Di antara tokoh-tokoh utama
yang mewakili teori semacam ini dapat disebut Vico, Herder, Hegel, Comte,
Marx, Toynbee, Sorokin dan lain-lain. Secara modern ungkapan tersebut berarti
suatu kritik terhadap filsafat sejarah formal atau spekulatif, terutama kritik dari
sudut logika maupun metodologi. Filsafat sejarah dalam arti ini disebut “filsafat
sejarah kritis” dengan tokoh antara lain Popper.
David Bebbington (1979: 17-20) membagi filsafat sejarah ke dalam lima
aliran. (1) Aliran siklus, yang berpandangan bahwa ritme perkembangan sejarah
itu tidak maju, tetapi selalu kembali seperti perputaran musim, tokoh yang
mewakili aliran ini ialah Nietzsche dan Toynbee. (2) Aliran pemikiran yang
khusus berhubungan dengan tradisi Yahudi dan Kristiani, aliran ini sangat
dipengaruhi oleh pandangan agama. Sejarah dilihat tidak hanya sebagai siklus,
akan tetapi juga sebagai gerak garis lurus, tokoh yang tergabung dalam aliran ini
ialah Agustinus dan Niehbuhr. (3) Aliran pemikiran yang melihat perkembangan
sejarah sebagai suatu proses yang bergerak secara linier ke arah kemajuan, filosof
yang mewakili aliran ini ialah Comte. (4) Aliran Historisisme, aliran ini menolak Misnal Munir, Messianisme dalam Perspektif
47
keyakinan bahwa sejarah adalah linier. Menurut mereka perkembangan sejarah
sangat ditentukan oleh berbagai faktor dalam kebudayaan manusia, filosof yang
tergabung dalam aliran ini ialah Vico, Ranke, Collingwood. (5) Aliran yang
dipengaruhi oleh filsafat sejarah Marxisme.
John Edward Sulivan (1970: 265-290) dalam bukunya  Prophets of the
Wesr; An Intruduction to the Philosophy of History, mengatakan bahwa para
filosof filsafat sejarah dalam pandangannya tentang sejarah berdasarkan pada
metafisika dan situasi yang dihadapinya pada waktu itu, dan mencoba untuk
memperlihatkan arah kecenderungan sejarah. Marx melihat proses sejarah
sebagai upaya untuk merekonstruksi sejarah manusia untuk kembali kezaman
prasejarah yang tanpa kelas. Comte mengemukakan bahwa sejarah adalah proses
perkembangan intelektual dan kebudayaan manusia. Sementara itu Spengler,
Toynbee, dan Sorokin melihat pasang surut, kembangkitan dan kehancuran
kebudayaan manusia dalam sejarah.
Berdasarkan kenyataan bahwa sejarah tidak dapat dipastikan begitu saja
perkembangannya, maka muncullah kelompok historisme-kritis yang melawan
aliran historisisme. Aliran historisisme adalah aliran filsafat sejarah yang
beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk meramalkan perkembangan
sejarah dengan cara menentukan “ritme” atau “pola”, “hukum” atau “trend” yang
menentukan jalannya sejarah (Popper, 1985: 3).
Pandangan-pandangan tentang sejarah telah banyak ditampilkan oleh para
filosof filsafat sejarah. Hal ini menandakan bahwa filsafat sejarah ada gunanya,
terlebih bagi seorang peneliti sejarah. Ankersmith (1987: 10) mengatakan bahwa
dengan dilatarbelakangi oleh filsafat sejarah, seorang peneliti sejarah akan lebih
mampu mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai keadaan pengkajian
sejarah pada suatu saat tertentu. Bahkan sekedar pengetahuan mengenai filsafat
sejarah mutlak perlu, agar dapat mengapresiasikan pengkajian sejarah masa kini
dengan memuaskan. Sebab pengkajian sejarah turut ditentukan oleh diskusidiskusi antara filosof sejarah mengenai tujuan dan kemungkinan-kemungkinan
dalam pengkajian sejarah. Selanjutnya, sedikit pengetahuan mengenai filsafat
sejarah, memaparkan latar belakang bagi seorang ahli sejarah, untuk menentukan
posisinya sendiri terhadap usaha-usaha memasukkan pendekatan baru terhadap
sejarah. Dalam pengkajian sejarah terdapat banyak aliran yang oleh tiap
pendukungnya diiklankan dengan ramai sehingga perlu diadakan suatu pilihan.
Messianisme sebagai suatu pemikiran  atau gagasan dalam sejarah tidak
hanya merupakan suatu spekulasi tentang kejadian-kejadian tetapi juga
merupakan suatu kekeuatan sosial yang mendorong ke arah tindakan-tindakan
untuk mengubah situasi. Situasi hendak diubah, karena dipandang sebagai situasi
krisis, penuh dengan penderitaan, kesengsaraan, kelaliman, pendeknya
menunjukkan dikadensi dan korupsi. Sangat dirasakan perbedaan besar antara
dunia dalam realitas dengan dunia ideal. Kesadaran akan hal ini menimbulkan
harapan akan perubahan yang akan mendatangkan keadilan dan kemakmuran,
renovasi dan regenerasi. Harapan itu seringkali membangkitkan sentimen
revolusioner yazng dapat diperkuat oleh ideologi keagamaan, seperti perang sabil
melawan orang kafir (Sartono, 1986: 93). Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 1
48
Filsafat Sejarah Hegel
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) merupakan seorang filosof
idealis, ia yakin bahwa pikiran atau jiwa adalah realitas terakhir. Ia juga seorang
filosof monis dalam fakta, ia berpendapat bahwa setiap hal yang berhubungan
satu sama lain dalam sistem besar dan kompleks atau keseluruhan yang
disebutnya dengan absolut. Idealisme monistik sebagaimana dikemukakannya
dalam  Phenomenology of Mind, membawa Hegel kepada keyakinan bahwa
hanya terdapat suatu pemikiran atau substansi mental (Collinson, 2001: 142).
Teorinya tentang kebenaran berkaitan dengan ini, karena ia berpendapat bahwa
yang riil adalah apa yang rasional dan bahwa ‘yang benar adalah keseluruhan’.
Hegel dalam buku  Philosophy of Histori mengembangkan sebuah teori
yang didasarkan pada pandangan bahwa negara merupakan realitas kemajuan
pikiran kearah kesatuan dengan nalar. Ia melihat negara sebagai kesatuan ujud
dari kebebasan objektif dan nafsu subjektif adalah organisasi rasional dari sebuah
kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika dibiarkan
pada tingkah laku individual. Uraian Hegel mengenai filsafat sejarah terdiri dari
tiga jilid. Ia membahas dunia Timur, dunia Yunani-Romawi, dan dunia
Germania. Pembagian ini didasarkan atas trias Hegel yakni roh objektif, roh
subjektif, dan roh mutlak. Dalam dunia Timur, roh belum sadar diri, manusia
masih berada dalam keadaan alami sedangkan roh berkarya dan menyusun dalam
objektifitas (seperti hukum alam). Dalam dunia Yunani-Romawi timbullah
subjektivitas, roh menempatkan diri di luar dan berhadapan dengan apa yang
secara objektif ada. Akan tetapi roh subjektif semula kurang memahami
kenyataan objektif. Baru dengan munculnya roh mutlak di dalam dunia Germania
terjadi perukunan antara yang subjektif dan yang objektif (Smith, 1987: 38-39).
Filsafat sejarah bagi Hegel representasinya yang nyata terlihat dalam
bentuk-bentuk kekuasaan di dalam negara. Negara merupakan realitas kemajuan
pikiran ke arah kesatuan dengan nalar. Ia melihat negara sebagai kesatua wujud
kebebasan objektif dan nafsu subjektif adalah organisasi rasional dari sebuah
kebebasan yang sebenarnya berubah-ubah dan sewenang-wenang jika dibiarkan
pada tingkah laku individual (Collinson, 2001: 143). Lebih lanjut dalam
pengantar bukunya Philosophy of History ia menulis:
Negara adalah ide tentang roh di dalam perwujudan lahir kehendak manusia
dan kebebasannya. Maka, bagi negara, perubahan dalam aspek sejarah tidak
dapat membatalkan pemberian itu sendiri; dan berbagai tahap yang
berkesinambungan dengan ide mewujudkan diri mereka di dalamnya
sebagai prinsip-prinsip politik yang jelas (Hegel, 2001: 65).
Negara adalah tujuan yang sesungguhnya dari manusia, tidak sekedar
sarana. Negara mendamaikan kepentingan perorangan dan masyarakat. Negara
didirikan atas ketaatan hak-hak perorangan pada kewajiban-kewajiban
masyarakat. Maka, untuk menjadi bermoral adalah hidup yang sesuai dengan
tradisi moral sesuatu negara. Tradisi-tradisi ini adalah revelasi progresif dari
kehendak universal. Bentuk tertinggi dari negara adalah dalam monarki
konstitusional (Ali Mudhofir, 2001: 225-226).
Sejarah dunia Timur bagi Hegel diawali dengan Cina karena ia adalah yang Misnal Munir, Messianisme dalam Perspektif
49
tertua. Di Cina dan Mongolialah – dunia despotisme teokratik – sejarah dimulai.
Di Cina, raja adalah pemimpin keluarga. Hukum negara sebagian merupakan
peraturan sipil, sebagian merupakan ketentuan moral (Hegel, 2001: 154). Cina
memandang diri mereka sendiri sebagai pemilik keluarga, dan pada saat yang
sama sebagai anak negara. Di dalam keluarga itu sendiri mereka bukan
merupakan personalitas, bagi kesatuan yang tergabung di situ mereka menjadi
anggotanya, merupakan kekerabatan keluarga dan kewajiban alamiah. Di dalam
negara, mereka memiliki personalitas yang sedikit independen, dan pemerintah
didasarkan pada menejemen paternal raja, yang menguasai semua departemen
negara (Hegel, 2001: 166). Dasar keluarga juga merupakan dasar bagi konstitusi,
karena raja memiliki hak sebagai raja yang berdiri dipuncak bangunan besar
politik yang berbuat sebagaimana layaknya seorang ayah. Dia adalah kepala
keluarga, dan segala sesuatu di dalam negara yang dapat dihormati terikat dengan
dia.
Yunani yang subtansial adalah sekaligus bersifat individual. Di Yunani
ditemukan kebebasan individu, namun belum berkembang ke arah tingkat
abstraksi, sehingga kesatuan subjektif merupakan kesadaran tentang
ketergantungan langsung pada prinsip substansial (umum) – Negara sebagaimana
adanya (Hegel, 2001: 344). Perjalanan umum Dunia Romawi dapat didefinisikan
sebagai peralihan dari tempat suci batin subjektivitas ke arah sebaliknya.
Keistimewaan dalam mendirikan Negara merupakan hal penting dalam sejarah
Romawi terbentuk didasarkan pada kekuatan, harus disatukan dengan kekuatan,
bukan atas hubungan moral atau liberal,  Virtus Romawi terpenting adalah
keberanian yang dikombinasikan dengan berbagai macam kekerasan yang ingkar
akan hukum (Hegel, 2001: 393).
Sejarah bagi Hegel mencapai puncak perkembangannya pada Dunia
Jerman, yang telah memasuki periode Roh menyadari bahwa ia adalah bebas,
lantaran ia menginginnkan kebenaran, Keabadian yang berada dalam dirinya dan
untuk dirinya sendiri Universal (Hegel,  2001: 564). Keselarasan antara Negara
dan gereja kini mencapai realisasi langsung. Salah satu segi terpenting dari di
dalam kondisi politik Jerman adalah kode tentang Hak yang tentunya timbul
karena penindasan Perancis, karena ini merupakan sarana yang istimewa untuk
membuka rahasia kelemahan sistem lama. Jabatan kenegaraan terbuka bagi setiap
warga negara, bakat dan penyesuaian diri tentu saja merupakan kondisi yang
diperlukan. Akhirnya seperti pada watak, di dalam gereja Protestan rekonsiliasi
antara Agama dengan Hukum telah berlangsung. Di dalam dunia Protestan di
sana tidak ada yang suci, tidak ada pemisahan kesadaran keagamaan di dalam
negara, bahkan juga tidak sikap permusuhan terhadap Hak Sekuler (Hegel, 2001:
623).
Sejarah Dunia tidak lain merupakan perkembangan Ide tentang Kebebasan.
Filsafat mengaitkan dirinya hanya dengan kemudian Ide yang mencerminkan
dirinya dalam Sejarah Dunia. Sejarah dunia, dengan seluruh adegannya yang
berubah yang ditampilkan tarikhnya, adalah proses perkembangan ini dan
perealisasian Roh, dan ini merupakan  Theodiciae yang sebenarnya, peneguhan
Tuhan dalam sejarah. Hanya pengetahuan ini yang dapat mendamaikan Roh Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 1
50
dengan Sejarah Dunia – yaitu bahwa apa yang akan terjadi, dan yang sedang
terjadi setiap hari, tidak hanya bukan “tanpa Tuhan”, melainkan benara-benar
merupakan karya-Nya (Hegel, 2001: 624).
Filsafat Sejarah Karl Marx
Karl Heinrich Marx (1818-1883) adalah filosof Jerman yang pemikirannya
telah menjadi inspirasi dasar “Marxisme” sebagai ideologi perjuangan kaum
buruh, yang menjadi komponen inti dari ideologi komunisme. Pemikiran Marx
juga telah menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi,
ilmu ekonomi, dan filsafat kritis (Magnis-Suseno, 200: 3). Pemikiran Marx tidak
hanya tinggal diam di wilayah teori, melainkan ideologi, yang dikenal dengan
ideologi Marxisme dan Komunisme. Ideologi ini dalam sejarah telah menjadi
kekuatan sosial dan bahkan politik. Dalam sejarah filsafat Barat tampaknya hanya
Marx yang mengembangkan sebuah pemikiran yang pada dasarnya filosofis,
namun kemudian menjadi teori perjuangan sekian banyak generasi pelbagai
gerakan pembebasan.
Motor perubahan dan perkembangan menurut Karl Marx adalah
pertentangan antara kelas-kelas sosial, bukan oleh individu-individu tertentu
(Magnis-Suseno, 2000: 125). Maka menurut Marx, tidaklah tepat kalau sejarah
dipandang sebagai hasil tindakan raja-raja dan orang-orang besar lainnya. Apa
yang diusahakan dan diputuskan oleh orang-orang besar yang dikenal dari bukubuku sejarah populer, meskipun tidak pernah tanpa kepentingan atau cita-cita,
dalam garis besarnya selalu akan bergerak dalam rangka kepentingan kelas
mereka serta mencerminkan struktur kekuasaan kelas-kelas dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Filsafat sejarah tiga tahap marx menggambarkan tiga pola “satu langkah ke
belakang, dua langkah ke depan”.  Komunitas-komunitas primitif harus
dihancurkan terlebih dahulu sebelum suatu komunitas bisa diciptakan lagi pada
tingkat yang lebih sempurna atau lebih tinggi. Materialisme historis menekankan
bahwa tahap-tahap berurutan dalam penghancuran ini juga sebagai pembawa
penjedaan. Ketika para produsen dengan cepat terpisah dari sarana-sarana
produksi mereka, kerja mereka menjadi lebih produktif. Pemisahan ini
berlangsung secara ekstrim dalam kapitalisme yang notabene juga salah satu
tahap di mana perkembangan kekuatan-kekuatan produksi mencapai tingkatnya
yang paling tinggi (Elster, 2000: 161).
Marx membedakan tiga tahap umat manusia. Tahap pertama adalah
masyarakat purba sebelum pembagian kerja dimulai. Tahap kedua – yang masih
berlangsung – adalah tahap pembagian  kerja sekaligus tahap hak milik pribadi
dan tahap keterasingan. Tahap ketiga adalah tahap kebebasan ,yaitu apabila hak
milik pribadi sudah dihapus(Magnis,2000:102). Jadi sistem hak milik pribadi
bukan sebuah”kecelakaan”, melainkan  tahap yang pasti dalam perjalanan umat
manusia ke tahap kebebasan.Tahap hak milik pribadi tak terelakkan karena
pembagian kerja tak terelakkan .Hanya melalui pembagian kerja umat manusia
dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Maka meskipun keterasingan
manusia dinilai  negatif ,ia merupakan  tahap yang harus dilalui oleh umat Misnal Munir, Messianisme dalam Perspektif
51
manusia.
Masyarakat masa depan yang diidealkan  Marx adalah komunisme. Dalam
Manuskrip III seperti yang dikutip oleh Fromm,Marx menegaskan  bahwa:
Komunisme merupakan penghapusan kepemilikan pribadi secara positif,
penghapusan alienasi diri manusia, dan  makanya merupakan apresiasi nyata
dari watak manusia melalui dan untuk manusia. Komunisme, oleh
karenanya,merupakan  pengembalian manusia sendiri sebagai makhluk
sosial,yakni sebenar-benarnya manusia, sebuah pengembalian yang lengkap
dan sadar yang mengasimilasikan semua kekayaan perkembangan
sebelumnya. Komunisme sebagai naturalisme yang paling maju adalah
humanisme, dan sebagai humanisme yang paling maju adalah naturalisme.
Komunisme merupakan resolusi definitif atas antagonisme antara manusia
dan alam, dan antara sesama manusia. Komunisme adalah solusinya
sebenarnya atas konflik antara eksistensi dan esensi, antara objektifikasi dan
afirmasi diri, antara kebebasan dan pengekangan, antara individu dan
masyarakat. Komunisme adalah solusi atas teka-teki sejarah dan mengetahui
bahwa dirinya merupakan solusi ini (Fromm, 2001: 168).
Komunisme adalah fase penegasian negasi dari fase sebelunya, dan sebagai
konsekuensinya, untuk tahap perkembangan sejarah berikutnya merupakan fase
pembebasan dan rehabilitasi manusia. Komunisme merupakan bentuk masa
depan yang diperlukan dan dibutuhkan oleh manusia.
Filsafat Sejarah Auguste Comte
Auguste Comte (1798-1870) adalah pendirian aliran filsafat Positivisme
yang anti metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara
positif-ilmiah, baginya tidak ada gunanya mencari “hakikat” kenyataan. Hanya
ada satu hal yang penting, yaitu  savoir pour prevoir, “mengetahui supaya siap
untuk bertindak”, “mengetahui supaya manusia dapat menantikan apa yang akan
terjadi” (Hamersma, 1983: 54). Manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan
hubungan-hubungan antara gejal-gejala ini supaya ia dapat meramalkan apa yang
akan terjadi. Hubungan-hubungan antara gejala-gejala oleh Comte disebut
‘konsep-konsep’ dan ‘hukum-hukum’. Hukum-hukum ini bersifat “positif”.
“Positif” dalam pengertian Comte adalah yang berguna untuk diketahui.
Sejarah umat manusia, juga jiwa manusia, baik secara individual maupun
secara kelompok, berkembang menurut hukum tiga tahap, yaitu tahap teologi
atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak ddan tahap positif atau riel (KoentoWibisono, 1982: 11). Masing-masing tahap itu digambarkan oleh Auguste Comte
sebagai berikut.
a. Tahap teologi atau fiktif
Tahap ini merupakan tahap pertama atau setiap perkembangan jiwa manusia
atau masyarakat. Manusia dalam tahap ini selalu berusaha mencari dan
menemukan segala sesuatu yang ada. Gejala atau fenomena yang menarik
perhatian selalu dikaitkan atau diletakkan dalam kaitannya dengan yang mutlak.
Manusia dalam tahap ini selalu berusaha untuk mempertanyakan hal-hal yang
paling sukar sejalan dengan tingkah laku  dan perbuatannya. Manusia dengan
melalui praintuisinya menganggap bahwa  hal-hal yang paling sukar tadi harus Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 1
52
dapat diketahui dan dikenalinya.
Pada tahap teologi atau fiktif ditandai dengan bentuk masyarakat yang
diatur oleh para raja yang menyatakan diri sebagai wakil Tuhan di dunia ini, di
samping lahirnya para rohaniwan yang bertugas sebagai penerjemah dan
sekaligus perantara antara manusia dengan Tuhan. Sedangkan susunan
masyarakat pada jaman ini adalah masyarakat yang bersifat militer.
b. Tahap metafisik atau abstrak
Tahap metafisik merupakan tahap peralihan, yaitu dari masa kanak-kanak
yang berkembang ke masa dewasa harus melalui masa remaja. Pada tahap ini
jiwa manusia telah mampu melepaskan diri dari kekuatan adikodrati, dan beralih
kekekuatan abstraksi. Pada saat ini istilah ontologi mulai dipergunakan akal budi
merupakan satu-satunya kekuatan yang dipergunakan manusia untuk
menenrangkan adanya segala sesuatu, sehingga berkat kemampuan abstraksi tadi,
manusia mampu pula untuk menerangkan hakikat atau substansi segala sesuatu
yang ada.
Tahap metafisik, dalam sejarah hidup manusia adalah ketika manusia
berada dalam abad pertengahan dan renaissans. Jika dalam teologi, kesatuan
keluarga merupakan dasar kehidupan bermasyarakat, maka dalam metafisik,
negaralah yang merupakan dasarnya. Rejim yang lama menjadi mundur karena
tampilnya kritisisme yang radikal. Pemikiran manusia dalam tahap metafisik ini
tidak lagi diarahkan kepada “bahwa” barang sesuatu itu ada, melainkan di
arahkan kepada “apanya” barang sesuatu itu.
c. Tahap positif atau riel
Tahap positif merupakan tahap jiwa manusia telah sampai pada pertengahan
yang pasti, jelas, dan bermanfaat, tidak lagi abstrak. Pada tahap ini perkembangan
jiwa manusia sampai pada perkembangannya yang paling akhir yang juga
merupakan tahap pembebasan manusia yang sebenarnya. Manusia tidak lagi
dipengaruhi ioleh kekuatan-kekuatan atau pengertian-pengertian adikodrati atau
metafisik yang tidak dapat dibuktikan secara nyata. Manusia sekarang mencari
dan membutuhkan pengetahuan yang riel yang hanya dapat dicapai melalui
pengamatan, percobaan, perbandingan, di atas hukum-hukum yang umum. Jika
dalam tahap metafisik manusia tumbuh dan berkembang dalam suatu susunan
masyarakat feodal, maka dalam tahap positif ini menurut Comte kehidupan
bermasyarakat akan diatur oleh kaum elit cendekiawan dan industrialis, dengan
rasa perikemanusiaan sebagai dasarnya. Tahap positif merupakan tahap
perkembangan masyarakat dalam era industrialisasi yang disertai dengan peranan
kaum cendekiawan dan kaum industrialis yang bersama-sama mengatur
masyarakat secara ilmiah. Jika dalam tahap teologi kesatuan keluarga merupakan
dasar bagi kehidupan masyarakat, sedangkan dalam tahap metafisik negara yang
merupakan dasarnya, maka dalam tahap positif ini, seluruh manusialah yang
merupakan dasar itu.
Berdasarkan hukum tiga tahap di atas Auguste Comte melihat sejarah
perkembangan manusia berlangusng di atas garis lurus menuju ke arah kemajuan. Misnal Munir, Messianisme dalam Perspektif
53
Makna perkembangan dalam hukum tiga tahap bersifat ‘positif’ dalam arti suatu
kemajuan. Bagi Auguste Comte tentang masyarakat yang telah sampai pada tahap
positif itu merupakan masyarakat yang terbaik dan ideal. Pada tahap ini
kehidupan masyarakat akan diatur oleh kaum elit cendekiawan industrialis
dengan sikap yang rasional dan ilmiah yang berdasarkan cinta kasih sebagai
pedomannya, ketertiban sebagai landasannya dan kemajuan sebagai tujuannya
(Koento-Wibisono, 1983: 17).
Filsafat Sejarah Nicolai Berdyaev
Nicolai Alexandrovitgh Berdyaev (1874-1948) adalah filosof
eksistensialisme dari Rusia. Pada awal perkembangan pemikiran filosofisnya,
Berdyaev adalah seorang pengikutnya Marx. Ia menyukai ajaran Marx yang
menawarkan suatu bentuk masyarakat baru, yang akan menghapus perbedaan
kelas dan ketidak adilan sosial. Namun kemudian hari Berdyaev meninggalkan
ajaran Marx yang materialistis. Ia menemukan banyak kelemahan dalam ajaran
Marx, dan menyimpulkan bahwa suatu filsafat sosial tidak mungkin dibangun
hanya atas dasar konsep materialisme. Lebih lanjut ia menegaskan:
Marxisme brought the Russian intellengentia a crisis and made it recognize
its weakness. This was a change not only world outlook but also a change in
spiritual structure (Berdyaev, 1955: 107).
Filsafat sejarah Nicolai Berdyaev berbeda dengan Hegel, Marx dan Comte.
Jika ketiga filosof sebelumnya melihat sejarah manusia dalam bentuk
perkembangan yang maju dan pasti serta  deterministik dan tertutup, maka bagi
Berdyaev sejarah manusia bersifat dinamik dan terbuka. Bentuk masyarakat masa
depan ditentukan oleh apa yang dapat dilakukan oleh manusia sekarang, bukan
oleh hukum-hukum perkembangan yang pasti. Filsafat sejarah tidak dapat
menyelesaikan masalah kemanusiaan dengan tuntas. Kesejarahan manusia tidak
dapat diselesaikan dengan membuat suatu rancangan masa depan yang pasti.
Kesejarahan manusia hanyalah arena yang di dalamnya manusia berjuang untuk
membebaskan diri dari berbagai keterkaitan dan perbudakan yang menghadang
eksistensinya (Nucho, 1966: 69).
Kesejarahan lahir dari suatu konsekuensi dari pengharapan masa depan,
artinya manusia menempatkan masa depan sebagai harapan untuk mewujudkan
impian dan cita-citanya. Kesejarahan merupakan gerak sejarah yang di dalamnya
terkandung konsep zaman atau masa messianistik. Zaman messianistik adalah
zaman pengharapan masa depan yang akan melahirkan kemerdekaan. Pada
zaman ini manusia bebas dari perbudakan, dan pada saat itu pula manusia akan
mengalami kebahagiaan. Pemikiran tentang zaman messianisme muncul sebagai
akibat dari penderitaan manusia yang tidak pernah usai (Berdyaev, 1959: 200).
Messianisme selain menerangkan tentang makna sejarah juga menerangkan
tentang beberapa kategori tentang kesejarahan. Kesejarahan lahir sebagai suatu
konsekuensi dari pengharapan di masa  depan, artinya manusia menempatkan
masa depan sebagai harapan untuk mewujudkan impian dan cita-citanya.
Kesejarahan bagi Berdyaev adalah gerak  sejarah, gerak sejarah itu di dalamnya
terkandung konsep jaman atau masa messianik. Masa messianik adalah jaman Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 1
54
pengharapan di masa depan yang akan melahirkan kemerdekaan. Pada jaman ini
manusia bebas dari perbudakan, dan pada saat itu pula manusia akan mengalami
kebahagiaan. Gagasan tentang jaman messianik ini lahir dari penderitaan manusia
yang tidak pernah usai. Berdyaev dalam bukunya The Beginning and the End
mengatakan bahwa messianisme itu adalah harapan, lebih lanjut ia menjelaskan.
The messianic hope is born in suffering and unhappiness and awaits the day
of righteous judgment, and, in the end, of messianic triumph and the
messianic reign of a thousand years. …. There is also a messianic
expextetion as a whole which aries from the enormous suffering of man on
this earth (Berdyaev, 1957: 117).
Gagasan tentang harapan akan datangnya jaman messianik, telah
melahirkan berbagai pandangan tentang  filsafat sejarah. Gagasan messianik
memberikan pengharapan akan datangnya kehidupan yang lebih baik di masa
depan, harapan itu diwujudkan dalam bentuk ramalan-ramalan. Kesejarahan
manusia maknanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan akhir sejarah
masa depan. Berdyaev menegaskan bahwa makna kesejarahan itu sebagai
berikut.
History has a meaning only it is going to come to an end; its having a
meaning depends upon its not going on for ever. History has no immanent
meaning; it has only transcendent meaning, and it is the messianic
consciousness which proclaims this transcendent meaning for it (Berdyaev,
1949: 169).
Dengan demikian sejarah tidak memiliki makna imanen, tetapi memiliki
makna transenden. Makna sejarah tidak berada dalam penghayatan waktu kosmis,
tetapi berada dalam penghayatan waktu eksistensial.
Selain itu bagi Berdyaev messianisme tidak hanya diartikan sebagai
kehadiran sang penebus atau ratu adil, tetapi juga bermakna sebagai suatu konsep
atau pemikiran yang dapat mempengaruhi tindakan manusia pada zamannya.
Pemikiran ke masa depan, dalam bentuk ramalan-ramalan dan pengharapan,
bukan sesuatu yang bersifat pasif. Bagi Berdyaev dalam perenungan tentang
suatu masa depan yang lebih baik tersirat suatu kreativitas yang aktif. Maksudnya
dengan membuat ramalan ke masa depan manusia akan terangsang untuk
bertindak kreatif untuk mewujudkannya. Ramalan-ramalan merupakan prinsip
yang utama untuk menata kembali kehidupan manusia, yaitu suatu penataan
hidup baru. Ramalan-ramalan mengandaikan adanya kreativitas, sebab, jika
ramalan membuat para pengikutnya bersifat pasif, maka menurut Berdyaev itu
bukan ramalan, tetapi omong-kosong yang tidak bermakna.
In prophetism humanity too is in the highest degree active; prophecy is a
divine-human activity, it is divine-human creativeness. Prophetism in
literature, in art, philisphy, in social movements, is the creative activity of
man” (Berdyaev, 1949: 177).
Konsep Berdyaev tentang messianisme berhubungan dengan konsepnya
tentang waktu yang terbagi dalam tiga bentuk penghayatan.  Pertama, waktu
kosmis yang dihadapi manusia dalam bentuk pergantian siang dan malam. Waktu
kosmis adalah waktu yang dapat dihitung secara matematis dalam bentuk detik, Misnal Munir, Messianisme dalam Perspektif
55
menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Waktu kosmis ini tergantung pada
proses kosmologis dan merupakan suatu tanda yang selalu berulang.  Kedua,
waktu kesejarahan yang merentang antara masa lampau, sekarang, dan masa yang
akan datang. Di dalam waktu kesejarahan ada perubahan yang menuju kepada
pembaruan atau sesuatu yang baru. Waktu kesejaraha juga dapat dihitung secara
matematis. Rentang waktu kesejarahan dapat dihitung dalam dekade, abad,
millenium. Walaupun waktu kesejarahan dapat dihitung secara matematis, tetapi
setiap peristiwa dalam waktu kesejarahan tidak pernah terulang kembali. Ketiga,
waktu eksistensial, yaitu waktu yang tidak terpengaruh oleh perhitungan
matematis. Waktu eksistensial ditentukan oleh intensitas penghayatan manusia
atas penderitaan dan kebahagiaan. Makna kesejarahan hanya dapat dipahami
melalui penghayatan waktu eksistensial. Manusia melalui penghayatan waktu
eksistensial, menghayati makna penderitaan dan kebahagiaan (Berdyaev, 1957:
206).
Filsafat Sejarah Alvin Toffler
Alvin Toffler lahir di Broolyn Amerika serikat 4 Oktober 1928. Ia adalah
pengarang buku  Future Shock dan The Third Wave yang terkenal itu. Toffler
dalm bukunya  The Third Wave membagi perkembangan sejarah peradaban
manusia atas tiga gelombang: gelombang pertama adalah fase agricultur,
gelombang kedua adalah fase industri, dan gelombang ketiga adalah fase yang
sekarang sedang dialami oleh umat manusia, fase ini sering disebut era informasi
yang ditunjang oleh teknologi komunikasi.
Komplek messiah itu adalah suatu ilusi bahwa kita dapat menyelamatkan
diri kita dengan mengganti orang yang dipuncak (Toffler, 1992: 330). Jeritan
yang kian nyaring meminta kepemimpinan adalah karena tiga macam salah
pengertian; yang pertama adalah mitos efisiensi otoriter; yang kedua
mendambakan kepemimpinan masa lampau yang dianggap berhasil, pada hal
belum tentu demikian untuk saat ini; yang ketiga mendambakan pemimpin yang
keibuan atau kebapakan yang sebetulnya sudah usang.
Setelah menyaksikan para politikus gelombang kedua terjerembab dan
seperti orang mambuk menepis-nepis problem yang timbul karena gelombang
ketiga, berjuta-juta orang terdorong oleh surat kabar, sampai pada satu-satunya
kesimpulan sederhana yang gampang dimengerti, tentang kesengsaraan kita
yaitu; “kegagalan pimpinan”. Asal saja ada seorang Ratu Adil muncul
dicakrawala politik semuanya akan beres (Toffler, 1992: 331).
Idaman kepada seorang pimpinan yang cakap dan macho itu sekarang
bahkan diutarakan oleh mereka yang bermaksud baik, ketika melihat yang
dikenalnya mulai ambruk, lingkungan semakin tidak dapat diramalkan, dan
kehausan mereka akan ketertiban, struktur dan prediktabilitas bertambah. Karena
itu kita mendengar apa yang dimaksud oleh berderap-derap, ‘jeritan yang hebat,
mengaung laksana lolongan beratus-ratus anjing yang mendongak ke bintang,
meminta seseorang atau sesuatu untuk memegang kendali (Toffler, 1992: 333).
Benar atau tidaknya, masih ada suatu kesesatan yang mencelakakan di
dalam argumentasi bahwa manusia sekarang memerlukan seorang Messiah untuk Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 1
56
menyelamatkan manusia dari malapetaka. Karena argumentasi itu berlandaskan
pendapat bahwa masalah dasarnya adalah personel. Hal itu tidak benar (Toffler
1992: 337). Bagi Toffler tak seorang pun mengetahui secara rinci bagaimana
masa depan itu atau apa yang akan paling berguna di dalam masyarakat
gelombang ke tiga. Oleh karena itu janganlah kita hanya memikirkan satu
reorganisasi yang massif atau satu perubahan besar yang revolusioner yang
diperintahkan dari atas, akan tetapi pikirkanlah ribuan eksperimen yang
diselenggarakan dengan sadar dan terdesentralisasi, sehingga kita menguji-coba
berbagai model-baru pengambilan keputusan politik pada tingkat lokal dan
regional, sebelum hal ini dapat diterapkan pada tingkat nasional dan trans
nasional.
Dengan menghindari kejutan masa depan ketika menunggang gelombang
perubahan, manusia harus menguasai evolusi, membentuk masa depan menurut
kebutuhan umat manusia (Toffler, 1989). Tanpa bangkit memberontak
terhadapnya, seharusnya mulai saat historis ini dan seterusnya, manusia
mengantisipasi dan mendesain masa depan. Hal ini yang merupakan tujuan akhir
futurisme sosial, bukan sekedar transendensi teknokrasi dan mensubsitusinya
dengan perencanaan yang lebih manusiawi, lebih berpandangan jauh, dan lebih
demokratis, melainkan menundukkan proses evolusi itu sendiri pada bimbingan
manusia yang sadar. Inilah saat yang maha agung, titik balik dalam sejarah, saat
manusia harus menundukkan proses perubahan itu atau binasa dan saat manusia,
dari menjadi boneka evolusi yang tak sadar, menjadi korban atau empu proses
itu.
MAKNA MESSIANISME DALAM FILSAFAT SEJARAH
Pemikiran tentang ide Masianik dalam Filsafat Barat berkembang setelah
reformasi masyarakat Kristen, ide Messianik diungkapkan dalam bentukbentuknya yang radikal. Namun demikian, arus utama pemikiran Messianik
setelah reformasi tidak lagi terungkap dalm wilayah pemikiran religius, tetapi
dalam pemikiran filsafat, sejarah dan sosial (Fromm, 2001: 87). Arus utama
pemikiran Messianik terungkap secara  melenceng dalam utpoia-utopia besar
renaissans, di mana dunia baru tidak berada dalam jarak waktu tetapi dalam jarak
ruang. Pemikiran tersebut tertuang dalam karya para filosof pencerahan dan
selama Revolusi Prancis dan Inggris. Terakhir, pemikiran tersebut secara sangat
lengkap ditemukan dalam konsep sosialisme Marx. Apapun pengaruh langsung
dari Kitab Perjanjian Lama pada Marx melalui kaum sosialis seperti Moses Hess,
tidak diragukan lagi, tradisi profetik Messianik mempengaruhinya secara tidak
langsung melalui pemikiran filosof-filosof pencerahan, khususnya yang
bercabang dari Spinoza, Goethe, dan Hegel.
Hegel dalam pandangan filsafat sejarahnya mengatakan bahwa dengan
berdirinya negara Prusia merupakan puncak dari perkembangan sejarah umat
manusia. Dengan berdirinya negara Prusia maka terwujudlah kebebasan dan
tercapailah makna dan tujuan sejarah dunia. Marx dengan konsep materialisme
historinya ‘mengangankan’ kemenangan kaum proletar atas kaum kapitalis
sebagai puncak sejarah. Dengan terwujudnya masyarakat Komunis maka segala Misnal Munir, Messianisme dalam Perspektif
57
penderitaan menjadi lenyap dan berganti dengan kebahagiaan dalam prinsip sama
rata sama rasa. Comte ‘merindukan’ datangnya tahap positif sebagai wujud
kemenangan manusia mengatasi tahap metafisik. Tahap positif dalam zaman di
dalamnya kehidupan bersamayarakat diatur oleh kaum elit cendekiawan dan
industrialis dengan rasa perikemanusiaan sebagai dasar untuk mengatur
kehidupan. Bagi Berdyaev zaman messianik di dalamnya akan terbentuk suatu
tatanan masyarakat yang relijius. Sedangkan Toffler pemikiran tentang
messianisme itu muncul dari keinginan manusia untuk menyelesaikan segala
persoalan yang dihadapinya secara tuntas dalam tempo yang singkat dan
meyeluruh.
Dari uraian hasil penelaahan terhadap berbagai pandangan tentang
messianisme, maka dapatlah dikemukakan berbagai bentuk messianisme sebagai
berikut.
1. Mesisnisme relijius, adalah pandangan messianisme dalam agama-agama
yang menempatkan para nabi selain sebagai pembebas kaumnya dari
penderitaan dan penindasan, sang nabi juga pembawa wahyu Tuhan untuk
menentukan manusia kepada ketaatan menyembah Tuhan.
2. Mesianisme idealitik, pandangan ini berdasarkan filsafat sejarah Hegel yang
idealistik. Hegel mendambakan suatu masa depan dalam bentuk terwujudnya
Negara Prusia yang monarki konstitusional.
3. Messianisme materialistik (sekuler), pandangan ini berdasarkan pemikiran
Marx. Bagi Marx masa depan mesianistik yang dicita-citakannya adalah
masyarakat Komunis. Masyarakat Komunis merupakan tatanan masyarakat
yang di dalamnya keadilannya hanya bersifat materialistik atau ekonomi.
4. Messianisme positivistik, pandangan ini berdasarkan pemikiran Comte yang
mengidolakan tatanan masyarakat ilmiah dan kemajuan industri. Comte yakin
ilmu pengetahuan akan dapat membantu manusia untuk meramalkan dan
merekayasa masa depannya berdasarkan hukum-hukum yang sifatnya positif.
5. Messianisme spiritualistik, pandangan ini berdasarkan pemikiran Berdyaev
yang mendambakan masa depan yang terbaik itu masyarakat yang relijius.
6. Messianisme kritis, pandangan ini berdasarkan pada pendapat Toffler yang
mengkritik berbagai pandangan masa depan yang deterministik. Ia
berpendapat bahwa masa depan itu sangat tergantung pada daya kreativitas
manusia. Masa depan yang lebih baik tidak mungkin diwujudkan oleh
seorang tokoh, tetapi merupakan hasil kerjasama seluruh umat manusia.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka dapatlah
disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Konsep messianisme pada awalnya merupakan pemikiran yang berkembang
dalam agama-agama mengenai akan datangnya seorang juru selamat yang
akan membebaskan manusia dari penderitaan yang sedang dialaminya.
2. Konsep messianisme yang berasal dari agama itu kemudian berkembang pula
dalam pemikiran para filosof, khususnya para filosof yang membicarakan
tentang masa depan. Masa depan tidak lagi hanya berupa ramalan yang Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,  Nomor 1
58
sifatnya spekulatif, lebih dari itu diusahakan realisasi masa depan itu sesuai
dengan yang dicita-citakan.
3. Messianisme merupakan suatu pemikiran tentang massa depan yang ideal
yang diinginkan dan didambakan oleh manusia. Pemikiran messianik
berkembang tidak hanya dalam agama-agama, tetapi juga filsafat, bahkan
juga dalam masyarakat awam. Messianisme bahkan telah menjadi gerakan
perlawanan dalam menentang penguasa yang sewenang-wenang dan
menindas.
4. Bentuk messianisme dalam perkembangannya tidak selalu diidentifikasi
dengan kedatangan seorang juru selamat, akan tetapi dapat pula berbentuk
suatu tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang lebih adil dan damai. Bentuk
masyarakat seperti ini tidak mungkin hanya diwujudkan oleh satu orang saja
(sang messiah), tetapi semua manusia harus terlibat di dalamnya.
5. Secara umum kemunculan pemikiran tentang messianisme ditandai oleh
situasi yang tidak menyenangkan yang dialami oleh manusia. Keadaan yang
tidak menyenangkan itu dapat berbentuk penindasan oleh suatu rejim atau
penguasa, akan tetapi juga dapat berbentuk tatanan sosial, politik, ekonomi
yang tidak sesuai dengan harapan manusia pada jamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, R. F., 1987,  Refleksi Tentang sejarah; Pendapat-pendapat Modern
tentang Filsafat Sejarah, diidonesialan oleh: Dick Hartoko, PT Gramedia,
Jakarta.
Bebbington, D., 1970, Pattern in History, Inter-Varsity Press, Leicester.
Berdyaev, N., 1957, The Beginning and The End, translated from the Russian by
R. M. French, Geoffrey bless Ltd. London.
Bertens, K., 1987, Panorama Filsafat Modern, PT Gramedia, Jakarta.
Bucaille, M., 1978, Bibel, Qor’an dan Sains Modern, Alih bahasa; HM. Rasjidi,
Bulan Bintang Jakarta.
Collinson, D.,  Lima Filosof Dunia Yang Menggerakkan, diterjemahkan
Ilzamuddin Ma’mur dan Mufti Ali,  Fifty Major Philosophers (1987), PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Elster, J., 2000, Karl Marx: Marxisme – Analisis Kritis, terjemahan Sudarmaji:
An Introduction to Karl Marx (1986), Prestasi Pustaka Karya, Jakarta.
Fromm, E., 1999, Revolusi Harapan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Fromm, E., 2001, Konsep Manusia Menurut Marx, diterjemahkan oleh Agung
Prihantoro, Marx’s Concept of Man, Pustaka Pelajara, Yogyakarta.
Gardiner, P., 1985, “Filsafat Sejarah”. Dalam Taufik Abdullah dan Abdurrahman
Surjomihardjo (ed, Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Perpektif, PT
Gramedia Jakarta.
Hamersma, 1983, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, PT Gramedia, Jakarta.
Hasbullah-Bakry, 1961,  Nabi Isa dalam Al- Qur’an dan Muhammad dalam
Bijbel, Penerbit AB Siti Syamsiah, Solo.
Hegel, G.W.F., 2001, Filsafat Sejarah, diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya, Misnal Munir, Messianisme dalam Perspektif
59
Philosophy of History, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Klausner, J., 1979, “The Source and Beginning og the Messianic Idea”, dalam
Leo Landman (ed), Messianism in the Talmudic Era, KTAV Publishing
House Inc., New York.
Kohn, H., 1959, “Messianism” dalam Edwin R.A. Seligman (eds) Encyclopedia
of the Social Sciences, Volume Nine, The Macmullan Company, New York.
Koento-Wibisono, 1982,  Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme
Auguste Comte, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Leahly, L., 1986, “Manusia dan Historisitasnya” dalam  BASIS No. XXXV-10,
Oktober 1986.
Lowith, K., 1970, Meaning in History, The University of Chicago Press Ltd.,
London.
Meulen, SJ, W.J. van der, 1987, Ilmu Sejarah dan Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Popper, K.R., 1985, Gagalnya Historisisme, LP3ES, Jakarta.
Puspoprodjo, W., 1987, Subjektifitas dalam Historiografi, Routledge and Keagan
Paul, London.
Russell, J.W., 1989,  Modes of Production in World History, Routledge and
Keagan Paul, London.
Sachedina, A.A., 1981,  Islamic Messianisme: The Idea of the Mahdi in Twelver
Shi’ism, State university of New York Press, New York.
Sartono-Kartodirdjo, 1986,  Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan
Timur, PT. Gramedia, Jakarta.
Siddiqi, M., 1986, Konsep  Qur’an tentang Sejarah, Penerjemah; Nur Rachmi,
Endah Widyawati, Gini Adityawati, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Sobrino, J. 1993, “Messiah and Messianism: Reflectians from El Salvador”
dalam: Wim Beuken, et.al (Eds), Messianism Throught History, SCM Press,
London.
Sullivan, J.E., 1970, Prophets of The West, An Introduction to The Philosophy of
History, Holt, Rinehart and Winston Inc., New York.
Toffler, A., 1989,  Kejutan Masa Depan, Alih bahsa: Sri Koesdiyantinah, PT.
Pantja Simpati, Jakarta.
Toffler, A., 1992,  Gelombang Ketiga, Alih bahasa: Sri Koesdiyantinah, PT.
Pantja Simpati, Jakarta.

http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/39/35

No comments:

Post a Comment