"Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan." { Wahyu 4:11}

Tuesday, January 18, 2011

Perempuan, Kebijakan dan Kemiskinan


Peran perempuan dalam pengambilan keputusan pada level kebijakan-kebijakan publik secara kuantitas masih dirasa kurang, sementara proporsi jumlah perempuan lebih besar dari pria. Dengan demikian, secara kuantitas pula perempuan yang lebih banyak “menikmati” produk dari kebijakan publik yang lebih banyak dibuat oleh kalangan pria.
Perebutan posisi perempuan dalam pengambilan kebijakan publik merupakan tuntutan yang wajar karena perempuan adalah sasaran kebijakan publik yang tidak memiliki daya tawar sehingga mengakibatkan terjadinya banyak produk yang tidak ramah gender. Penyebabnya tak lain karena secara internal, individu yang membuat produk kebijakan adalah orang-orang yang berjenis kelamin pria yang relatif mengetahui kebutuhan-kebutuhan sesama jenisnya, namun tidak sebaliknya kepada lawan jenisnya. Disinilah awal munculnya segregasi antara pria dan perempuan yang mengakibatkan ketidak-setaraan antar kedua jenis kelamin tersebut.
Kesetaraan Jender
Perjuangan kesetaraan jender telah memasuki babak baru. Bila pada pemilu 2004 lalu fokus perjuangan gerakan perempuan terletak pada perjuangan merebut kuota 30 persen dari proporsi keterwakilan perempuan dalam lembaga parlemen. Maka agenda yang tak kalah penting adalah perjuangan proporsional perempuan dalam pengambilan kebijakan publik.
Meski perjuangan perebutan kuota 30 persen dalam parlemen tidak sepenuhnya berhasil, namun setidaknya agenda tersebut telah berhasil menjadi wacana aktual dan mengemuka menjadi isu strategis. Selama ini, wacana gender hanya menjadi isu dalam diskusi-diskusi internal gerakan perempuan yang tidak mampu menarik simpati publik. Namun wacana kuota 30 persen sungguh berbeda karena disamping merupakan sebuah tuntutan hati nurani perempuan juga disebabkan oleh amanah undang-undang.
Kelemahan mendasar dari undang-undang tersebut karena tidak disertai sanksi bagi partai yang tidak ramah gender. Untuk memenuhi amanah undang-undang tersebut sebagai sekedar pemuas konstituen, partai-partai lebih banyak yang mencantumkan para calon legeislatif perempuan pada urutan bawah (nomor kaki). Akibatnya sangat jelas pada kedudukan perempuan dalam legisltaif yang tidak proporsional sesuai kuota yang diharapkan. Angka proporsi antara pria dan perempuan dalam parlemen tidak jauh beda dengan jumlah pada periode-periode sebelumnya. Ketimpangan masih terasa dalam keterwakilan sehingga tetap akan melanggengkan dominasi pria dalam pengambilan kebijakan publik.
Sementara itu, jumlah perempuan yang berkarier dalam lembaga pemerintahan merupakan wahana yang tidak kalah strategisnya dalam mewujudkan kebijakan publik yang ramah jender. Medan perjuangan perempuan masih terbuka lebar dalam institusi tersebut karena perekrutan pegawai negeri tersaring berdasarkan kompetensi dan jauh dari sentimen jender. Peluang dan momentum ini harus dijaga untuk tujuan masa yang akan datang agar dapat tercipta proporsi yang berimbang antara pria dan perempuan dalam institusi tertinggi pengambil kebijakan.
Untuk memulainya, proporsi antara pria dan perempuan minimal harus berimbang mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bila proporsi tetap terjaga, maka selanjutnya dalam perekrutan harus sejauh mungkin menonjolkan kompetensi sebagai standar penilaian sehingga perempuan memiliki peluang yang sama untuk direkrut menjadi pegawai negeri. Kompetensi dan proporsi yang berimbang akan menjadi modal dasar dalam mengawal program kesetaraan jender secara berkesinambungan menuju terwujudnya kebijakan publik yang ramah jender.
Agenda Programatik
Program tersebut secara sederhana dapat disebut sebagai program pendampingan proporsional terukur. Mengapa dikatakan demikian? Pertama, secara prosedural dapat diukur melalui sensus penduduk yang menghitung jumlah perempuan dan pria. Bila perempuan lebih banyak jumlahnya, maka dapat diukur dan diprediksi bahwa jumlah perempuan akan lebih tinggi pula partisipasinya dalam dunia pendidikan.
Kedua, penghitungan antara pria dan perempuan dilakukan secara transparan dan dipublikasikan secara luas melalui media publikasi yang terjangkau sehingga dapat diketahui jumlahnya secara proporsional. Proporsi yang berimbang atau dominan pada jenis kelamin tertentu merupakan informasi dasar yang berguna dalam pemberdayaan perempuan pada masa datang. Bila proporsi lebih besar pada perempuan, maka layak bila anggaran untuk pemberdayaan perempuan mengalami peningkatan. Bila secara sektoral eksistensi perempuan dilembagakan dalam kementerian negara pemberdayaan perempuan, maka agenda ke depan bila menerapkan asas proposional tidak tertutup kemungkinan pada lintas departemental/lembaga pemerintahan. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya kebijakan publik yang ramah jender adalah kebijakan publik lintas sektoral.
Ketiga, pendampingan atas proporsi tersebut layak dipertahankan untuk ditindak-lanjuti agar dapat terinternalisasi dalam produk-produk kebijakan publik lintas departemen. Pendampingan dilakukan agar program ramah gender terkawal dengan baik menuju terciptanya cita-cita gerakan perempuan. Perjalanan menuju ke tahap internalisasi produk membutuhkan pemikiran-pemikiran strategis-teoritis. Disinilah dibutuhkan teori-teori jender dan pertarungan idiologis jender dipertaruhkan agar mitos-mitos dominasi pria diminimalkan dalam produk kebijakan publik.
Agenda programatik memang sudah selayaknya dilakukan gerakan perempuan. Demikian pula dalam perluasan medan perjuangan harus diperluas keberbagai bidang pengabidan perempuan. Bila selama ini gerakan perempuan identik dengan gerakan civil society yang digerakkan para aktifis LSM perempuan, maka ke depan gerakan semacam ini harus dapat tertular ke dalam institusi pemerintahan yang merupakan lembaga pengambil kebijakan publik (public policy institutions). Diseminasi gerakan perempuan selayaknya diambil alih oleh para aktifis perempuan yang telah memilih karir di dalam lembaga pemerintahan, karena pada dasarnya perubahan kebijakan tidak cukup hanya ditingkat wacana tetapi juga membutuhkan aktor-aktor yang tangguh dalam mewujudkannya.
Penciptaan aktor-aktor (pelaku) baru gerakan perempuan dalam lembaga pemerintahan pada dasarnya merupakan agenda yang sangat vital dalam mewujudkan kebijakan publik yang ramah jender. Aktor-aktor tersebut berfungsi strategis dalam merubah produk kebijakan publik dengan fokus dari dalam institusi pemerintahan itu sendiri.
Pengentasan Kemiskinan
Kebijakan pengarusutamaan jender (gender mainstreaming) seyogynaya sebagai alat saja untuk mencapai tujuan yang lebih besar: tujuan agar perempuan dapat menjadi penentu dalam setiap level pengambilan kebijakan. Namun terkesan selama ini, kebijakan pengarusutamaan jender justru telah menjadi tujuan itu sendiri dan mengabaikan tujuan yang lebih besar yakni terciptanya pemerataan perempuan sebagai decision maker pada setiap level organisasi.
Sebenarnya perempuan memiliki peran besar dalam kebijakan pengentasan kemiskinan bila memiliki peran sebagai pengambil kebijakan. Kelebihan perempuan bila berada di level pengambil kebijakan terletak pada sifat sensitifitasnya terhadap obyek tertentu. Bila obyeknya adalah kemiskinan, maka perempuan akan memiliki sensitifitas yang lebih dibanding pria dalam memformulasikan pilihan-pilihan kebijakan pengentasan kemiskinan berdasarkan teori yang ada. Sensitifitas yang lebih akan membentuk prilaku dan karakter kebijakan pro-poor.
Perempuan dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan karena sekrang ini perempuan telah banyak mengambil peran penting dalam ekonomi rumah tangga baik di kota maupun di desa. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan Akatiga di Bandung pada 2001 memperlihatkan betapa peran perempuan pada beberapa rumah tangga miskin sangat signifikan dalam menopang ekonomi rumah tangga yang bersangkutan.
Karena itu, kebijakan pengentasan kemiskinan dapat diarahkan dan difokuskan pada perempuan dalam ekonomi rumah tangga. Skema-skema pemberian kredit, misalnya sudah seharusnya diperlonggar menjadi berperspektif jender. Bila selama ini, bila perempuan mengajukan kredit ke lembaga perbankan harus mendapat persetujuan dari suami, maka saatnya kini harus diubah sesuai kondisi rumah tangga seseorang. Bila rumah tangga tertentu memiliki perempuan ibu rumah tangga yang lembih berperan dalam menunjang ekonomi rumah tangganya, maka kebijakan bank mestinya fleksibel. Ini salah satu contoh kecil bagaimana peran perempuan dalam pengentasan kemiskinan.
Tentuya banyak skema-skema kebijakan lain yang dapat dilakukan pemerintah agar memfokuskan kebijakan pengentasan kemiskinan yang berperspektif jender. Apalagi kemiskininan adalah perhatian dunia dan telah menjadi salah satu point penting dalam MDGs (Millenium Development Goals) dimana Indonesia ikut serta menandatanganinya pada tahun 2000 lalu. Komitmen internasional pemberantasan kemiskinan harus terentaskan minimal setengah dari data kemiskinan tahun 2000 lalu pada tahun 2015 mendatang.

No comments:

Post a Comment